Kisah Suhartini-Oktariani, Nasabah Bank Sampah Induk Palembang yang Berhasil Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci
SUMATERAEKSPRES.ID – Merajut hari-hari senjanya pascaberpulangnya sang suami, Suhartini (62) dan putrinya, Oktariani, berhasil wujudkan mimpinya untuk berangkat umrah ke Tanah Suci. Cara yang ditempuh, mengumpulkan sampah dan bekerja di Bank Sampah Induk Kota Palembang.
Perjuangan Suhartini dan Oktariani tidak mudah. Ibu dan anak ini berusaha keras untuk mewujudkan impiannya menginjakkan kaki di Tanah Suci.Semangat keduanya pantang menyerah di tengah segala keterbatasan hidup.
Lelah keduanya mengumpulkan sampah serta bekerja di Bank Sampah Induk Palembang di kawasan Km 12, Lr Kenanga, RT 1, RW 1, Kelurahan Sukodadi, Kecamatan Sukarami, Palembang terbayarkan sudah. Pada 23 Januari 2025 nanti, Bukde Tini, sapaan akrabnya bersama sang putri, akan menjalankan ibadah umrah ke Tanah Suci.
Saat Sumatera Ekspres menyambangi kediamannya kemarin (14/1), Bukde Tini tengah sibuk memilah sampah di rumahnya. Di sana, dia tinggal sendirian. Untungnya, rumah sang anak, Oktariani, berdekatan dengan rumah sang ibu.
Sama halnya dengan sang ibu, Oktariani juga tinggal sendirian di rumahnya tersebut. Ibu dan anak yang menyandang status janda ini sama-sama bekerja di Bank Sampah Induk Palembang, yang lokasinya tak jauh dari rumah mereka tempati.
“Jaraknya sekitar 50 meter dari sini,” kata Bukde Tini. Menggeluti pekerjaan sebagai pemilah bahan untuk Bank Sampah Induk, keduanya juga memiliki tekad yang sama. “Tidak mengambil hasil penjualan sampah maupun pekerjaan di Bank Sampah Induk. Uangnya kami tabung selama dua tahun. Alhamdulillah bisa untuk menjalankan ibadah umrah bersama Oktariani,” beber Bukde Tini bersemangat.
Penghasilan keduanya sebenarnya dari mengumpulkan dan menjual sampah tidak menentu. Tapi semua dikumpulkan. “Duit dari bank sampah tidak pernah diambil, semuanya ditabung,” kata Bukde Tini. Setiap harinya, dia mengumpulkan botol, kardus, dan kaleng dari tetangga.
Barang-barang bekas itu dibawa pulang ke rumah. Dipilah dan dijual ke bank sampah. Pendapatan yang mereka peroleh dari hasil ini kadang bisa mencapai ratusan ribu rupiah. “Tetangga sering membantu, kadang ada yang memberi botol atau kaleng. Semua kami kumpulkan untuk dijual,” tambahnya.
Bukde Tini sebelum ini sudah pernah sekali berangkat umrah. Saat itu dari hasil menabung saat masih bekerja mencuci baju di kontrakan PT Sembaja. Ia sebenarnya ingin bisa berangkat haji. Namun, karena takut tak kesampaian karena masa tunggu lama, akhirnya memilih untuk berangkat umrah kedua kalinya 23 Januari nanti. “Kalau untuk haji, takutnya keburu tak kesampaian kalau kelamaan menunggu,” ungkapnya sambil tertawa kecil.
Meski demikian, Suhartini tidak menyerah dan tetap bersyukur. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari dengan anaknya, Bukde Tini, juga sambil bekerja di rumah keluarganya. “Jadi sama anak saya, bekerja bantu-bantu keluarga membersihkan rumah. Dari situlah kita bisa menutupi biaya hidup sehari-hari,” ujarnya.
Saat ini, Bukde Tini dan putri bungsunya, Oktariani sudah bersiap untuk perjalanan umrah kedua. Mereka bergabung dengan travel PT Karomah yang menawarkan promo spesial ulang tahun kantor. Dengan biaya sekitar Rp26,5 juta per orang. “Tidak ada yang tidak mungkin. Walaupun penghasilan tidak menentu, kalau ada niat dan usaha, pasti bisa,” tukas dia.
Sebelum berangkat, pada 22 Januari nanti Bukde Tini akan gelar acara yasinan keluarga. “Kami ingin semuanya lancar dan berkah. Semoga perjalanan ini membawa kami lebih dekat kepada Allah SWT,” tambah Oktariani.
Ketua Kelompok Sadar Lingkungan (Pokdarling) Sukadadi, Umi Hani Mainingrum menjelaskan, sampah plastik yang diterima di bank sampah diklasifikasikan berdasarkan jenis dan kualitasnya. Untuk plastik jenis PET, seperti botol bekas air mineral, memiliki nilai jual yang berbeda dibandingkan dengan plastik jenis PP yang biasanya ditemukan pada gelas minuman plastik.
“Kategori PP sendiri memiliki tiga tingkatan: Grade A, B, dan C. Grade A, yang bening dan tanpa lapisan, memiliki harga tertinggi, yaitu Rp4.500 per kilogram. Sedangkan Grade B, dengan lapisan tertentu, dihargai Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram. Untuk Grade C, seperti gelas plastik berwarna-warni, harganya Rp1.800 per kilogram,” jelas Umi.
Sampah plastik yang dikumpulkan diolah menjadi biji plastik untuk diproduksi kembali menjadi barang seperti gayung, serokan sampah, dan produk lain. Perbedaan kualitas plastik juga memengaruhi hasil pewarnaan produk daur ulang. “Grade A menghasilkan warna yang lebih cerah, sedangkan Grade B cenderung lebih kusam, dan Grade C biasanya menghasilkan warna gelap, seperti hitam,” tambahnya.
Bank Sampah Induk Palembang di Sukadadi menerima berbagai jenis sampah setiap harinya. Mulai plastik, kertas, besi, kaleng aluminium, hingga wajan bekas. Sampah-sampah tersebut kemudian dijual ke industri daur ulang di Palembang maupun Pulau Jawa.
Ia berharap kisah Bukde Tini dan putrinya yang merupakan anggota Pokdarling sekaligus nasabah bank sampah bisa jadi contoh warga lain. Dibenarkan Umi, selama dua tahun terakhir, Bukde Tini tidak pernah menarik hasil tabungannya dari penjualan sampah. “Semua tabungannya digunakan untuk mempersiapkan keberangkatan ibadah umrahnya,” beber dia.
Tidak hanya Bukde Tini, banyak nasabah lain yang memanfaatkan bank sampah ini untuk menabung dengan tujuan tertentu. Program-program seperti tabungan pendidikan, tabungan keagamaan (haji dan umrah), serta tabungan sembako untuk persiapan Lebaran menjadi daya tarik utama bagi mereka.
Bank Sampah Induk ini telah bekerja sama dengan berbagai institusi besar, seperti PT Pusri, RS Siti Fatimah, RS Sriwijaya, dan RS Ar Rasyid. Institusi-institusi ini biasanya menyumbangkan limbah kertas untuk dikelola oleh bank sampah. Selain itu, masyarakat sekitar, sekolah, pondok pesantren, hingga komunitas RT juga berkontribusi dalam pengelolaan sampah.
Setiap nasabah perorangan memiliki buku tabungan yang berfungsi layaknya rekening bank konvensional. Lengkap dengan slip setoran dan penarikan. “Kami sudah membentuk empat bank sampah tingkat RT yang rutin menyetor hasil pengumpulan sampahnya ke bank utama,” tambah Umi.
Keberadaan bank sampah tidak hanya menjadi solusi pengelolaan sampah di Palembang. Tapi juga menjadi sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat. Harapannya, model seperti ini dapat diperluas ke wilayah lain untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Keberhasilan ini bukan hanya hasil kerja saya. Tapi juga karena peran serta aktif dari semua anggota, masyarakat, dan pihak-pihak yang mendukung. Semoga semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan,” tukas dia.
sumber : https://sumateraekspres.bacakoran.co/read/70925/bersiap-umrah-kedua-hasil-2-tahun-tabung-jual-sampah